Senin, 28 April 2014

DAULAH BANI UMAYYAH



A.    Asal-Usul dan Pertumbuhan Bani Umayyah
Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun.
Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah (Sou’yb,1997:7).
 Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan.
Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah barang siapa masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi (Hasan,1993:282).
Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman, maka kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang masa kekhilafahannya (al-Maududi,1993:146-147).
Kekuasaan Muawiyah pada wilayah Syam tersebut telah membuatnya mempunyai basis rasional untuk karier politiknya. Karena penduduk Syam yang diperintah Muawiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh, terlatih dan terpilih di garis depan dalam melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan bangsawan Arab dan keturunan Umayyah yang berada sepenuhnya di belakang Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak habis-habisnya, baik moral, manusia maupun kekayaan (Mufrodi,1997:70).
Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju sistem monarkhi.
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, karena banyak kebijakan politiknya yang berrtumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Hanya dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa yang masuk kedalam kekuasaannya. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syria, Palestina Jazirah Arab, Iraq, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan wilayah Afrika Utara sampai Spanyol.
Namun demikian, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi. Dalam bidang yang terakhir ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya disepanjang jalan, beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.

B.    Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah:
1.       Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
2.      Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam     menempatkan  para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3.      Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.

 C. Kedudukan Khalifah
            Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarkhi, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al Qur’an (2:30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir (Pulungan, 1997:167-168).
            Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu
penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi
mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah
adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak
sesuai dengan hukum-hukum syariat.
          Dengan demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan
tetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam sama sekali berbeda dengan Khalifah
yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.

D. Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
          Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah
berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan
Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi
Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik
dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan
oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan
berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan
Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi).
          Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali
ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah
Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika
Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai (al-Maududi,
1984:167).

          Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan
empat belas Khalifah. Banyak kemajuan, perkembangan dan perluasan daerah yang
dicapai, lebih-lebih pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Dimulai oleh
kepemimpinan Muawiyyah bin Abi Sufyan dan diakhiri oleh kepemimpinan Marwan bin
Muhammad. Adapun urut-urutan Khalifah Daulah Bani Umayyah adalah sebagai berikut:

1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
        Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai
Khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota
Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan
wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu
ia juga mengatur tentara dengan cara baru dengan meniru aturan yang ditetapkan oleh
tentara di Bizantium, membangun administrasi pemerintahan dan juga menetapkan aturan
kiriman pos. Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di
Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier.
2. Yazid ibn Muawiyah (681-683 M)
          Lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya,
Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia 34 tahun
pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau
menyatakan setia kepadanya. Ia kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah,
memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara
ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair.
Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan)
kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada
tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala (Yatim, 2003:45).
          Masa pemerintahan Yazid dikenal dengan empat hal yang sangat hitam sepanjang
sejarah Islam, yaitu :
a. Pembunuhan Husein ibn Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad.
b. Pelaksanaan Al ibahat terhadap kota suci Madinah al - Munawarah.
c. Penggempuran terhadap baiat Allah.
d. Pertama kalinya memakai dan menggunakan orang-orang kebiri untuk barisan
pelayan rumah tangga khalif didalam istana.
Ia Meninggal pada tahun 64 H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa
pemerintahannya ialah tiga tahun dan enam bulan.
3. Muawiyah ibn Yazid (683-684 M)
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun. Dia seorang yang berwatak lembut. Dalam pemerintahannya, terjadi masa krisis dan ketidakpastian, yaitu timbulnya perselisihan antar suku diantara orang-orang Arab sendiri. Ia memerintah hanya selama enam bulan.

4. Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M)
          Sebelum menjabat sebagai penasihat Khalifah Ustman bin Affan, ia berhasil
memperoleh dukungan dari sebagian orang Syiria dengan cara menyuap dan memberikan
berbagai hak kepada masing-masing kepala suku. Untuk mengukuhkan jabatan Khalifah
yang dipegangnya maka Marwan sengaja mengawini janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid.
Selama masa pemerinthannya tidak meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan
sejarah Islam. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan18 hari.
5. Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
          Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada
tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan
dan kemulian. Ia terpandang sebagai Khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap
dan berhasil memulihkan kembali kesatuan Dunia Islam dari para pemberontak, sehingga
pada masa pemerintahan selanjutnya, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik
Daulah bani Umayyah dapat mencapai puncak kejayaannya.
          Ia wafat pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karyakarya terbesar didalam sejarah Islam. Masa pemerintahannya berlangsung selama 21 tahun, 8 bulan. Dalam masa pemerintahannya, ia menghadapi sengketa dengan khalif Abdullah ibn Zubair.
6. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
          Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran dan
ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu
peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat
daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam juga
sampai ke Andalusia (Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan
panglima Thariq bin Ziad mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota  Kordova, Granada dan Toledo.
       Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga melakukan
pembangunan besar-besaran selama masa pemerintahannya untuk kemakmuran
rakyatnya. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat harum dalam sejarah
Daulah Bani Umayyah dan merupakan puncak kebesaran Daulah tersebut   
.
7. Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
          Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42 tahun. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak memiliki kepribadian yang
kuat hingga mudah dipengaruhi penasehat-penasehat disekitar dirinya. Menjelang saat
terakhir pemerintahannya barulah ia memanggil Gubernur wilayah Hijaz, yaitu Umar bin
Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya dengan memegang jabatan
wazir besar.
          Hasratnya untuk memperoleh nama baik dengan penaklukan ibu kota Constantinople
gagal. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah
menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul Umawi yang terkenal megah dan
agung di Damaskus.
8. Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
          Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil
dan sederhana. Ia ingin mengembalikan corak pemerintahan seperti pada zaman khulafaur
rasyidin. Pemerintahan Umar meninggalkan semua kemegahan Dunia yang selalu
ditunjukkan oleh orang Bani Umayyah.
          Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, ia menyatakan bahwa mempernaiki dan
meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah
perluasannya (Amin, 1987:104). Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan
dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, ia berhasil menjalin
hubuingan baik dengan Syi’ah. Ia juga membari kebebasan kepada penganut agama lain
untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan.
Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari Arab) disejajarkan dengan Muslim Arab.
          Pemerintahannya membuka suatu pertanda yang membahagiakan bagi rakyat.
Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi teladan. Ia selalu berusaha meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720 M dalam usia 39 tahun,
dimakamkan di Deir Simon.
9. Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
          Yazid ibn Abdul Malik adalah seorang penguasa yang sangat gandrung kepada
kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya
hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau.
Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi
terhadap pemerintahan Yazid.
          Pemerintahan Yazid yang singkat itu hanya mempercepat proses kehancuran
Imperium Umayyah. Pada waktu pemerintahan inilah propaganda bagi keturunan Bani
Abas mulai dilancarkan secara aktif. Dia wafat pada usia 40 tahun. Masa pemerintahannya
berlangsung selama 4 tahun, 1 bulan.
10. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
          Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia
terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Pada masa pemerintahannya
muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani
Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan
mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan selanjutnya,
kekuatan baru ini mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan
Dinasti baru, Bani Abbas.
          Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu kuat, sehingga Khalifah tidak mampu mematahkannya. Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan. Dua tahun sesudah penaklukan pulau Sisily pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia 55 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun, 9 bulan. Sepeninggal Hisyam, Khalifah- Khalifah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin mempercepat runtuhnya Daulah Bani Ummayyah.
11. Walid ibn Yazid (743-744 M)
          Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dimasa pemerintahan Walid ibn Yazid. Ia
berkelakuan buruk dan suka melanggar norma agama. Kalangan keluarga sendiri benci
padanya. Dan ia mati terbunuh.
          Meskipun demikian, kebijakan yang paling utama yang dilakukan oleh -Walid ibn
Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-orang buta dan
orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai famili untuk merawatnya. Ia menetapkan
anggaran khusus untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat untuk masing
masing orang. Dia sempat meloloskan diri dari penangkapan besar-besaran di Damaskus
yang dilakukan oleh keponakannya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 1 tahun,2
bulan. Dia wafat dalam usia 40 tahun.
12. Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M)
          Pemerintahan Yazid ibn Walid tidak mendapat dukungan dari rakyat, karena
perbuatannya yang suka mengurangi anggaran belanja negara. Masa pemerintahannya
penuh dengan kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya berlangsung selama
16 bulan. Dia wafat dalam usia 46 tahun.
13. Ibrahim ibn Malik (744 M)
          Diangkatnya Ibrahim menjadi Khalifah tidak memperoleh suara bulat didalam
lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena itu, keadaan negara semakin
kacau dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia menggerakkan pasukan besar
berkekuatan 80.000 orang dari Arnenia menuju Syiria. Ia dengan suka rela mengundurkan
dirinya dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan ibn Muhammad. Dia
memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.
14.Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
          Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa
pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu mengahadapi gerakan Bani
Abbasiyah yang telah kuat pendudkungnya.
          Marwan ibn Muhammad melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus. Namun
Abdullah bin Ali yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas As-Syaffah selalu
mengejarnya. Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair, daerah al Fayyun Mesir,
dia mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima penyerahan tugas dari
Abdullah. Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M. Dengan
demikian tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak lanjutnya dipegang oleh
Bani Abbasiyah.

E. Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi Daulah Bani Umayyah
1. Sistem Sosial
          Dalam lapangan sosial, Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara
bangsa-bangsa Muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki
kebudayaan yang telah maju seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya akulturasi budaya antara Arab (yang memiliki ciri-ciri Islam)
dengan tradisi bangsa-bangsa lain yang bernaung dibawah kekuasaan Islam (Amin,
1997:106). Hubungan tersebut kemudian melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan
dibidang seni bangunan (arsitektur) dan ilmu pengetahuan.
          Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Walid ibn Abdul Malik (705-
715 M) kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Ia seorang yang berkemauan keras
dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, ia menyempurnakan
gedung-gedung, pabrik-pabrik dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para
kabilah yang berlalu lalang dijalan tersebut. Ia membangun masjid al-Amawi yang terkenal
hingga masa kini di Damaskus. Disamping itu ia menggunakan kekayaan negerinya untuk
menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta
dan sebagainya.
          Akibat lainnya adalah juga banyak orang-orang dari negeri taklukan yang memeluk
Islam. Mereka adalah pendatang-pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang
dikalahkan, yang kemudian mendapat gelar “al mawali”. Status tersebut menggambarkan
inferioritas di tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak mendapat fasilitas
dari penguasa Bani Umayyah sebagaimana yang didapatkan oleh orang-orang muslimin
Arab.
          Dalam masa Daulah Bani Umayyah, orang-orang muslimin Arab memandang dirinya
lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (mawali). Orang-orang Arab memandang
dirinya
“saiyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka dijadikan Tuhan untuk
memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang
pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara (Hasjmy, 1993:154).
          Pada saat itu banyak Khalifah Bani Umayyah yang bergaya hidup mewah yang sama
sekali berbeda dengan para Khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak
pernah melupakan orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa tersebut dibangun
berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan
penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan humanis tersebut mereka
digaji oleh pemerintah secara tetap (Yatim, 1998:139).
2. Sistem Politik
          Perubahan yang paling menonjol pada masa Bani Umayyah terjadi pada sistem politik, diantaranya adalah:
a. Politik dalam Negeri
          1) Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini
berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dari
Kufah, pusat kaum Syi’ah (pendukung Ali), dan juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal
Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam
antar dua bani tersebut dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus
yang terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada di bawah
genggaman Muawiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi Gubernur di distrik
ini sejak zaman Khalifah Umar ibn Khattab (Pulungan, 1994:164).
          2) Pembentukan lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan dari  
Khalifahar
rasyidin, untuk memenuhi tuntutan perkembangan administrasi dan wilayah
kenegaraan yang semakin komplek. Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah
Bani Umayyah dibantu oleh beberapa al Kuttab (sekretaris) yang meliputi :
· Katib ar Rasaail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan
surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
· Katib al Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan
pengeluaran negara.
· Katib al Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang
berkaitan dengan ketentaraan.
· Katib asy Syurthahk yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
· Katib al-Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum
melalui bedan-badan peradilan dan hakim setempat (Hasjmy, 1993:82).
          Masa Bani Umayyah juga membentuk berbagai departemen baru antara lain
bernama
al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan Khalifah. Organisasi Syurthahk
(kepolisian) pada masa Bani Umayyah disempurnakan,. Pada mulanya organisasi ini
menjadi bagian organisasi kehakiman, yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan
keputusan-keputusan pengadilan, dan kepalanya sebagai pelaksana al-hudud.
          Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Bani Abbas membentuk empat
buah “dewan” atau kantor pusat yaitu:
· Diwanul Kharrraj,
· Diwanul Rasaail,
· Diwanul Musytaghilaat al-Mutanauwi’ah dan
· Diwanul Khatim.
Dewan ini sangat penting karena tugasnya mengurus surat-surat lamaran raja,
menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilir kemudian
diatasnya dicap (Hasjmy, 1993:172).
          Sedangkan pada bidang pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk
lembaga yang bernama Nidzam al Qadai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman
di zaman ini dibagi kedalam tiga badan yaitu:
· Al-Qadha’, bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu
itu belum ada “mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu
para qadhi menggali hukum sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad.
· Al-Hisbah, bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana
yang memerlukan tindakan cepat.
· An-Nadhar fil Madhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding
(Hasjmy, 1993:172).
          Selain itu, Khalifah Bani Umayyah juga mengangkat pembantu-pembantu sebagai
pendamping yang sama sekali berbeda dengan Khalifah sebelumnya. Mereka merekrut
orang-orang non Muslim menjadi pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat,
administrator, dokter dan kesatuan dalam militer (Pulungan, 1997:166). Hal ini terjadi
sejak Muawiyah menjabat sebagai Khalifah, yang kemudian diwarisi oleh keturunannya.
Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis kebijakan tersebut dihapus, karena orang-orang
non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilage di dalam
pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam, bahkan menganggap mereka
rendah.
b) Politik Luar Negeri
          Politik luar negeri Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu melakukan perluasan
daerah kekuasaan ke negara–negara yang belum tunduk pada kerajaan Bani Umayyah.
          Pada zaman Khalifah ar-Rasyidin wilayah Islam sudah demikian luas, tetapi
perluasan
tersebut belum mencapai tapal batas yang tetap, sebab di sana-sini masih selalu terjadi
pertikaian dan kontak-kontak pertempuran di daerah perbatasan. Daerah-daerah yang
telah dikuasai oleh Islam masih tetap menjadi sasaran penyerbuan pihak-pihakdi luar
Islam, dari belakang garis perebutan tersebut. Bahkan musuh diluar wilayah Islam telah
berhasil merampas beberapa wilayah kekuatan Islam ketika terjadi perpecahan-
perpecahan dan permberontakan-pemberontakan dalam negeri kaum muslimin (Syalaby,
1971:139).
          Berdasarkan kedaan semacam ini, terjadilah pertempuran-pertempuran antara Bani
Umayah dan negara-negara tetangga yang telah ditaklukkan pada masa khilafaur rasyidin.
Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai Khurasan sampai ke sungai Oxus dan
Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota
Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah dilanjutkan oleh
Khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil
menundukkan Balk, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya sampai
ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan
(Nasution, 1985:61).
          Ekspansi ke Barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid bin Abdul Malik.
Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah Barat daya, benua Eropa, pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokka dapat
ditaklukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang
memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang
sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan.
Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo
yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova (Hasan, 1967:91).
Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
          Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan
Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai
menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan  
di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke
tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
          Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat,
wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut
meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil,
Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis
di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
          Dengan demikian, ekspansi yang dilakukan oleh orang Islam di masa Bani Umayyah
adalah semata-mata suatu tindakan untuk membela diri (defensif) dan jihad untuk
menyiarkan agama Islam, terutama terhadap penganut-penganut kepercayaan syirik, yang
menghalang-halangi sampainya ajaran Islam ke dalam hati sanubari rakyat yang telah
lama menanti-nantikannya.
          Perluasan yang dilakukan pada masa Bani Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu
daerah-daerah yang telah dicapai dan gerakan Islam terhenti sampai di situ, ketika masa
Khalifah Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai berikut :
1)      Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Dimasa pemerintahan Bani
            Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas, sampai meliputi pengepungan
            terhadap kota Konstantinopel, dan penyerangan terhadap beberapa pulau di      
             laut tengah.

2)     Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai Atlantik, kemudian
            menyeberangi selat Jabal Thariq dan sampai ke Spanyol.

3)     Front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang, yang satu menuju ke utara, ke daerah-daerah diseberang sungai Jihun (Amru Dariyah). Dan cabang yang keduamenuju ke Selatan, meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian Barat (Mufrodi,1997:80).
3. Sistem Ekonomi
          Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa. Dengan
wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu memungkinkannya untuk
mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga dapat mengangkut
sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab
hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus
memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak
(Bosworth,1993:26).
          Tetapi bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Bani
umayyah, tetapi ada juga usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat
dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil
memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan
memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan (Mufradi, 1997:76).
          Jadi sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi ekonomi
negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari negara-negara yang telah
ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam.
          Tetapi kebijakan yang paling strategis pada masa Daulah Bani Ummayah adalah
adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik. Dia
mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang
dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan
memakai kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak
sebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya (Yatim,
2003:44).
F. Kemajuan Intelektual
          Kehidupan ilmu dan akal, pada masa Dinasti Bani Umayyah pada umumnya berjalan
seperti zaman khalafaur rasyidin, hanya beberapa saja yang mengalami kemajuan, yaitu
mulai dirintis jalan ilmu naqli, berupa filsafat dan eksakta. Pada saat itu, sebagaimana
masa sebelumnya, ilmu berkembang dalam tiga bidang, yaitu diniyah, tarikh dan filsafat.
Tokoh filsafat yang terkenal (beragama nasrani) adalah Yuhana al Dimaski, yang dikenal
dalam Dunia KRISTEN sebagai Johannes Damacenes, yang kemudian diteruskan oleh
muridnya yang bernama Abu Qarra.
          Kebanyakan masyarakat dan Khalifah Bani Umayyah mencintai syair. Pada masa itu
lahir beberapa penyair terbesar, seperti Ghayyats Taghlibi al-Akhtal, Jurair, dan Al-
Farazdak.
          Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan ilmu, pada masa Daulah Bani Umayyah,
masih seperti zaman khafaur rasyidin, Yaitu kota Damaskus, Kufah, Basrah, Mekkah,
Madinah, Mesir dan ditambah lagi dengan pusat-pusat baru, seperti kota Kairawan,
Kordoba, Granada dan lain-lainnya (Hasjmy, 1993:183).
          Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua yaitu:
1. Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua bagian:
          · Al-Ulumul Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadist, al-Fiqh, al-ulumul
          Lisaniyah, at-Tarikh dan al-Jughrafi.
          · Al-Ulumud Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam,
          seperti ilmu thib, fisafat, ilmu pasti dan ilmu-ilmu eksakta lainnya yang disalin dari
          bahasa Persia dan Romawi.
2. Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman
Jahiliah dan di zaman khalafaur rasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair, khitabah
dan amsaal.
          Pada permulaan masa Daulah Bani Umayyah orang Muslim membutuhkan hukum
dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Oleh karena itu mereka mempunyai
minat yang besar terhadap tafsir al-Qur’an. Ahli tafsir pertama dan termashur pada masa
tersebut adalah Ibnu Abbas. Beliau menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan isnaad.
          Kesulitan-kesulitan kaum muslimin dalam mengartikan ayat-ayat al-Qurr’an dicari
dalam al-Hadist. Karena terdapat banyak hadist yang bukan hadist, maka timbullah usaha
untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist, yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan
segala cabang-cabangnya. Maka kitab tentang ilmu hadist mulai banyak dikarang oleh
orang-orarng Muslim. Diantara para muhaddistin yang termashur pada zaman itu, yaitu:
Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhry, Ibnu
Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’I Abdur Rahman
bin Amr, Hasan Basri Asy-Sya’bi (Hasjmy, 1993:183).
G. Sebab-Sebab Runtuhnya Bani Umayyah
          Kebesaran yang telah diraih oleh Dinasti Bani Umayyah ternyata tidak mampu
menahan kehancurannya, yang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Pertentangan antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan
(Himyariyah) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Dinasti Bani Umayyah
persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para Khalifah cenderung
kepada satu pihak dan menafikan yang lainnya (Ali, 1981:169-170).

2. Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka adalah pendatang baru dari
kalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali. Status
tersebut menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab
yang mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka bersama-sama
Muslim Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang di antara
mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata bangsa Arab. Tetapi harapan
mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan.
Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali itu jumlahnya jauh lebih
kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab (Watt, 1990:28).

3. Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatru yang baru bagi
tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannnya tidak jelas.
Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan
yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga Istana (Hitti, 1970:281).

4. Kerajaan Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayyah telah demikian luas
wilayahnya, sehingga sukar mengendalikan dan mengurus administrasi dengan baik,
tambah lagi dengan sedikitnya jumlah penguasa yang berwibawa untuk dapat
menguasai sepenuhnya wilayah yang luas itu.

5. Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari
konflik-konflik politik. Kaum Syi’ah dan Khawarij terus berkembang menjadi gerakan
oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan
Umayyah.

6. Adanya pola hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan anak-anak Khalifah
tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa
terhadap perkembangan agama sangat kurang.

7. Penindasan terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali pada khususnya, dan
terhadap Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya, sehingga mereka menjadi oposisi
yang kuat. Kekuatan baru ini, dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abdul al-
Muthalib dan mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan
kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Hal ini
menjadi penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. (Yatim,
2003:48-49 dan Hasymy, 1993:210).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar