A.
Asal-Usul dan Pertumbuhan Bani
Umayyah
Kerajaan Bani Umayyah
didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan
berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah
seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam
pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil
alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah
Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di
Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di
zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun.
Silsilah keturunan Muawiyah
bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu
dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan
keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan
keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai
pembangun Dinasti Umayyah (Sou’yb,1997:7).
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya,
yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan
kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang
pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra.
Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan.
Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan
untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah barang siapa
masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi
(Hasan,1993:282).
Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan
ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk membuka daerah Syam. Dan
masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama
dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan
setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada
Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman, maka kerabatnya dari Bani
Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak yang menguasai pos-pos
penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah
kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat.
Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang
panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4
tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah
sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan.
Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh,
yaitu sepanjang masa kekhilafahannya (al-Maududi,1993:146-147).
Kekuasaan Muawiyah pada
wilayah Syam tersebut telah membuatnya mempunyai basis rasional untuk karier
politiknya. Karena penduduk Syam yang diperintah Muawiyah mempunyai ketentaraan
yang kokoh, terlatih dan terpilih di garis depan dalam melawan Romawi. Mereka
bersama-sama dengan bangsawan Arab dan keturunan Umayyah yang berada sepenuhnya
di belakang Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak
habis-habisnya, baik moral, manusia maupun kekayaan (Mufrodi,1997:70).
Pada realitasnya banyak
sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya
dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip
demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi
kepala negara dari proses demokrasi menuju sistem monarkhi.
Masa pemerintahan Bani
Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, karena banyak kebijakan politiknya
yang berrtumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Hanya dalam
jangka 90 tahun, banyak bangsa yang masuk kedalam kekuasaannya. Daerah-daerah
itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syria, Palestina Jazirah Arab, Iraq, Persia,
Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan wilayah Afrika Utara sampai Spanyol.
Namun demikian, Bani Umayyah
banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik politik, sosial,
kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi. Dalam
bidang yang terakhir ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya
disepanjang jalan, beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.
B.
Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya
akibat dari kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan
tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan
politiknya di masa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah:
1. Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani
Umayyah.
2. Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan
para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3. Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati,
bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman
dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil
keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
C. Kedudukan Khalifah
Walaupun Muawiyah mengubah sistem
pemerintahan dari musyawarah menjadi monarkhi, namun Dinasti ini tetap memakai
gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan
jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa”
yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al Qur’an
(2:30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah
berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir
(Pulungan, 1997:167-168).
Dengan kata lain pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu
penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang
selama menjadi
mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan
bahwa Khalifah
adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan
Khalifah tidak
sesuai dengan hukum-hukum syariat.
Dengan demikian,
meskipun pemimpin Dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan
tetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam sama sekali berbeda
dengan Khalifah
yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.
D. Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Dengan meninggalnya
Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah
berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan
(Dinasti), yakni kerajaan
Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh
Muawiyah bin Abi
Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai
cara, siasat, politik
dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin
sebagaimana dilakukan
oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah
Bani Umayyah bukan
berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi
turun-temurun, dan
Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat
kerajaan (monarkhi).
Muawiyah tidak
mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali
ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian
pemimpin setelah
Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini
terjadi ketika
Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
terhadap anaknya,
Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun
dimulai (al-Maududi,
1984:167).
Dinasti Umayyah
berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan
empat belas Khalifah. Banyak kemajuan, perkembangan dan perluasan
daerah yang
dicapai, lebih-lebih pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik.
Dimulai oleh
kepemimpinan Muawiyyah bin Abi Sufyan dan diakhiri oleh
kepemimpinan Marwan bin
Muhammad. Adapun urut-urutan Khalifah Daulah Bani Umayyah adalah
sebagai berikut:
1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
Muawiyah ibn Abi
Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai
Khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota dari Madinah al
Munawarah ke kota
Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia
melanjutkan perluasan
wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman
dan Ali. Disamping itu
ia juga mengatur tentara dengan cara baru dengan meniru aturan
yang ditetapkan oleh
tentara di Bizantium, membangun administrasi pemerintahan dan juga
menetapkan aturan
kiriman pos. Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan
dimakamkan di
Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier.
2. Yazid ibn Muawiyah (681-683 M)
Lahir pada tahun 22
H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya,
Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah
dalam usia 34 tahun
pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di
Madinah tidak mau
menyatakan setia kepadanya. Ia kemudian mengirim surat kepada
Gubernur Madinah,
memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia
kepadanya. Dengan cara
ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan
Abdullah ibn Zubair.
Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi
(penggabungan)
kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh
Husein ibn Ali. Pada
tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan
golongan Syi’ah yang ada di irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui
Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai khalifah. Dalam pertempuran yang tidak
seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat kufah, tentara Husein kalah dan
Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus,
sedang tubuhnya dikubur di Karbala (Yatim, 2003:45).
Masa pemerintahan
Yazid dikenal dengan empat hal yang sangat hitam sepanjang
sejarah Islam, yaitu :
a. Pembunuhan Husein ibn Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad.
b. Pelaksanaan Al ibahat terhadap kota suci Madinah al - Munawarah.
c. Penggempuran terhadap baiat Allah.
d. Pertama kalinya memakai dan menggunakan orang-orang kebiri
untuk barisan
pelayan rumah tangga khalif didalam istana.
Ia Meninggal pada tahun 64 H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa
pemerintahannya ialah tiga tahun dan enam bulan.
3. Muawiyah ibn Yazid (683-684 M)
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M
dalam usia 23 tahun. Dia seorang yang berwatak lembut. Dalam pemerintahannya,
terjadi masa krisis dan ketidakpastian, yaitu timbulnya perselisihan antar suku
diantara orang-orang Arab sendiri. Ia memerintah hanya selama enam bulan.
4. Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M)
Sebelum menjabat
sebagai penasihat Khalifah Ustman bin Affan, ia berhasil
memperoleh dukungan dari sebagian orang Syiria dengan cara menyuap
dan memberikan
berbagai hak kepada masing-masing kepala suku. Untuk mengukuhkan
jabatan Khalifah
yang dipegangnya maka Marwan sengaja mengawini janda Khalifah
Yazid, Ummu Khalid.
Selama masa pemerinthannya tidak meninggalkan jejak yang penting
bagi perkembangan
sejarah Islam. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya
selama 9 bulan18 hari.
5. Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
Abdul Malik ibn
Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada
tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah
mencapai kekuasaan
dan kemulian. Ia terpandang sebagai Khalifah yang perkasa dan
negarawan yang cakap
dan berhasil memulihkan kembali kesatuan Dunia Islam dari para
pemberontak, sehingga
pada masa pemerintahan selanjutnya, di bawah pemerintahan Walid
bin Abdul Malik
Daulah bani Umayyah dapat mencapai puncak kejayaannya.
Ia wafat pada tahun
705 M dalam usia yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karyakarya terbesar didalam
sejarah Islam. Masa pemerintahannya berlangsung selama 21 tahun, 8 bulan. Dalam
masa pemerintahannya, ia menghadapi sengketa dengan khalif Abdullah ibn Zubair.
6. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
Masa pemerintahan
Walid ibn Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran dan
ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa
pemerintahannya tercatat suatu
peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika
Utara menuju wilayah Barat
daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Perluasan wilayah
kekuasaan Islam juga
sampai ke Andalusia (Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin
Ziad. Perjuangan
panglima Thariq bin Ziad mencapai kemenangan, sehingga dapat
menguasai kota Kordova, Granada dan
Toledo.
Selain melakukan
perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga melakukan
pembangunan besar-besaran selama masa pemerintahannya untuk
kemakmuran
rakyatnya. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat
harum dalam sejarah
Daulah Bani Umayyah dan merupakan puncak kebesaran Daulah tersebut
.
7. Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
Sulaiman Ibn Abdul
Malik menjadi Khalifah pada usia 42 tahun. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak
memiliki kepribadian yang
kuat hingga mudah dipengaruhi penasehat-penasehat disekitar
dirinya. Menjelang saat
terakhir pemerintahannya barulah ia memanggil Gubernur wilayah
Hijaz, yaitu Umar bin
Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya dengan
memegang jabatan
wazir besar.
Hasratnya untuk
memperoleh nama baik dengan penaklukan ibu kota Constantinople
gagal. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa
pemerintahannya ialah
menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul Umawi yang terkenal megah dan
agung di Damaskus.
8. Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz
menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil
dan sederhana. Ia ingin mengembalikan corak pemerintahan seperti
pada zaman khulafaur
rasyidin. Pemerintahan Umar
meninggalkan semua kemegahan Dunia yang selalu
ditunjukkan oleh orang Bani Umayyah.
Ketika dinobatkan
sebagai Khalifah, ia menyatakan bahwa mempernaiki dan
meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik
daripada menambah
perluasannya (Amin, 1987:104). Ini berarti bahwa prioritas utama
adalah pembangunan
dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, ia
berhasil menjalin
hubuingan baik dengan Syi’ah. Ia juga membari kebebasan kepada
penganut agama lain
untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak
diperingan.
Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari Arab) disejajarkan dengan Muslim
Arab.
Pemerintahannya
membuka suatu pertanda yang membahagiakan bagi rakyat.
Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi teladan. Ia selalu
berusaha meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720 M dalam usia
39 tahun,
dimakamkan di Deir Simon.
9. Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
Yazid ibn Abdul
Malik adalah seorang penguasa yang sangat gandrung kepada
kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat
yang sebelumnya
hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah
menjadi kacau.
Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat
menyatakan konfrontasi
terhadap pemerintahan Yazid.
Pemerintahan Yazid
yang singkat itu hanya mempercepat proses kehancuran
Imperium Umayyah. Pada waktu pemerintahan inilah propaganda bagi
keturunan Bani
Abas mulai dilancarkan secara aktif. Dia wafat pada usia 40 tahun.
Masa pemerintahannya
berlangsung selama 4 tahun, 1 bulan.
10. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
Hisyam ibn Abdul
Malik menjabat sebagai Khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia
terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Pada masa
pemerintahannya
muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi
pemerintahan Bani
Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani Hasyim yang
didukung oleh golongan
mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam
perkembangan selanjutnya,
kekuatan baru ini mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan
menggantikannya dengan
Dinasti baru, Bani Abbas.
Pemerintahan Hisyam
yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan
dan kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa membayar kesalahan-kesalahan
para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu kuat, sehingga Khalifah tidak
mampu mematahkannya. Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam
kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan.
Dua tahun sesudah penaklukan pulau Sisily pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia
55 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun, 9 bulan.
Sepeninggal Hisyam, Khalifah- Khalifah yang tampil bukan hanya lemah tetapi
juga bermoral buruk. Hal ini makin mempercepat runtuhnya Daulah Bani Ummayyah.
11. Walid ibn Yazid (743-744 M)
Daulah Abbasiyah
mengalami kemunduran dimasa pemerintahan Walid ibn Yazid. Ia
berkelakuan buruk dan suka melanggar norma agama. Kalangan
keluarga sendiri benci
padanya. Dan ia mati terbunuh.
Meskipun demikian,
kebijakan yang paling utama yang dilakukan oleh -Walid ibn
Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan
orang-orang buta dan
orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai famili untuk
merawatnya. Ia menetapkan
anggaran khusus untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat
untuk masing
masing orang. Dia sempat meloloskan diri dari penangkapan
besar-besaran di Damaskus
yang dilakukan oleh keponakannya. Masa pemerintahannya berlangsung
selama 1 tahun,2
bulan. Dia wafat dalam usia 40 tahun.
12. Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M)
Pemerintahan Yazid
ibn Walid tidak mendapat dukungan dari rakyat, karena
perbuatannya yang suka mengurangi anggaran belanja negara. Masa
pemerintahannya
penuh dengan kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya
berlangsung selama
16 bulan. Dia wafat dalam usia 46 tahun.
13. Ibrahim ibn Malik (744 M)
Diangkatnya Ibrahim
menjadi Khalifah tidak memperoleh suara bulat didalam
lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena itu, keadaan
negara semakin
kacau dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia menggerakkan
pasukan besar
berkekuatan 80.000 orang dari Arnenia menuju Syiria. Ia dengan
suka rela mengundurkan
dirinya dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan
ibn Muhammad. Dia
memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.
14.Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
Beliau seorang ahli
negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa
pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu mengahadapi
gerakan Bani
Abbasiyah yang telah kuat pendudkungnya.
Marwan ibn Muhammad
melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus. Namun
Abdullah bin Ali yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas
As-Syaffah selalu
mengejarnya. Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair,
daerah al Fayyun Mesir,
dia mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima
penyerahan tugas dari
Abdullah. Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5
Agustus 750 M. Dengan
demikian tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak
lanjutnya dipegang oleh
Bani Abbasiyah.
E. Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi Daulah Bani Umayyah
1. Sistem Sosial
Dalam lapangan
sosial, Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara
bangsa-bangsa Muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang
terkenal memiliki
kebudayaan yang telah maju seperti Persia, Mesir, Eropa dan
sebagainya. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya akulturasi budaya antara Arab (yang
memiliki ciri-ciri Islam)
dengan tradisi bangsa-bangsa lain yang bernaung dibawah kekuasaan
Islam (Amin,
1997:106). Hubungan tersebut kemudian melahirkan kreatifitas baru
yang menakjubkan
dibidang seni bangunan (arsitektur) dan ilmu pengetahuan.
Seperti yang
terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Walid ibn Abdul Malik (705-
715 M) kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Ia seorang yang
berkemauan keras
dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, ia
menyempurnakan
gedung-gedung, pabrik-pabrik dan jalan-jalan yang dilengkapi
dengan sumur untuk para
kabilah yang berlalu lalang dijalan tersebut. Ia membangun masjid al-Amawi yang terkenal
hingga masa kini di Damaskus. Disamping itu ia menggunakan
kekayaan negerinya untuk
menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat
seperti orang lumpuh, buta
dan sebagainya.
Akibat lainnya
adalah juga banyak orang-orang dari negeri taklukan yang memeluk
Islam. Mereka adalah pendatang-pendatang baru dari kalangan
bangsa-bangsa yang
dikalahkan, yang kemudian mendapat gelar “al mawali”. Status tersebut menggambarkan
inferioritas di tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak
mendapat fasilitas
dari penguasa Bani Umayyah sebagaimana yang didapatkan oleh
orang-orang muslimin
Arab.
Dalam masa Daulah
Bani Umayyah, orang-orang muslimin Arab memandang dirinya
lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (mawali). Orang-orang Arab memandang
dirinya
“saiyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka
dijadikan Tuhan untuk
memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya
terjadi jurang
pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara (Hasjmy, 1993:154).
Pada saat itu
banyak Khalifah Bani Umayyah yang bergaya hidup mewah yang sama
sekali berbeda dengan para Khalifah sebelumnya. Meskipun demikian,
mereka tidak
pernah melupakan orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa
tersebut dibangun
berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu,
faqir miskin dan
penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan
humanis tersebut mereka
digaji oleh pemerintah secara tetap (Yatim, 1998:139).
2. Sistem Politik
Perubahan yang paling
menonjol pada masa Bani Umayyah terjadi pada sistem politik, diantaranya
adalah:
a. Politik dalam Negeri
1) Pemindahan pusat
pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini
berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena
letaknya jauh dari
Kufah, pusat kaum Syi’ah (pendukung Ali), dan juga jauh dari
Hijaz, tempat tinggal
Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik
yang lebih tajam
antar dua bani tersebut dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari
itu, Damaskus
yang terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada
di bawah
genggaman Muawiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi
Gubernur di distrik
ini sejak zaman Khalifah Umar ibn Khattab (Pulungan, 1994:164).
2) Pembentukan
lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan dari
Khalifahar
rasyidin, untuk memenuhi tuntutan
perkembangan administrasi dan wilayah
kenegaraan yang semakin komplek. Dalam menjalankan pemerintahannya
Khalifah
Bani Umayyah dibantu oleh beberapa al Kuttab (sekretaris) yang meliputi :
· Katib ar Rasaail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan
surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
· Katib al Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan
pengeluaran negara.
· Katib al Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang
berkaitan dengan ketentaraan.
· Katib asy Syurthahk yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
· Katib al-Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum
melalui bedan-badan peradilan dan hakim setempat (Hasjmy,
1993:82).
Masa Bani Umayyah
juga membentuk berbagai departemen baru antara lain
bernama
al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan
keselamatan Khalifah. Organisasi Syurthahk
(kepolisian) pada masa Bani Umayyah disempurnakan,. Pada mulanya
organisasi ini
menjadi bagian organisasi kehakiman, yang bertugas melaksanakan
perintah hakim dan
keputusan-keputusan pengadilan, dan kepalanya sebagai pelaksana al-hudud.
Untuk mengurus tata
usaha pemerintahan, Daulah Bani Abbas membentuk empat
buah “dewan” atau kantor pusat yaitu:
· Diwanul Kharrraj,
· Diwanul Rasaail,
· Diwanul Musytaghilaat al-Mutanauwi’ah dan
· Diwanul Khatim.
Dewan ini sangat penting karena tugasnya mengurus surat-surat
lamaran raja,
menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut
dengan lilir kemudian
diatasnya dicap (Hasjmy, 1993:172).
Sedangkan pada
bidang pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk
lembaga yang bernama Nidzam al Qadai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman
di zaman ini dibagi kedalam tiga badan yaitu:
· Al-Qadha’, bertugas
memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu
itu belum ada “mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada
waktu itu
para qadhi menggali hukum sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah
dengan berijtihad.
· Al-Hisbah, bertugas
menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana
yang memerlukan tindakan cepat.
· An-Nadhar fil Madhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding
(Hasjmy, 1993:172).
Selain itu,
Khalifah Bani Umayyah juga mengangkat pembantu-pembantu sebagai
pendamping yang sama sekali berbeda dengan Khalifah sebelumnya.
Mereka merekrut
orang-orang non Muslim menjadi pejabat-pejabat dalam pemerintahan,
seperti penasehat,
administrator, dokter dan kesatuan dalam militer (Pulungan,
1997:166). Hal ini terjadi
sejak Muawiyah menjabat sebagai Khalifah, yang kemudian diwarisi
oleh keturunannya.
Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis kebijakan tersebut dihapus,
karena orang-orang
non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilage di dalam
pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam, bahkan
menganggap mereka
rendah.
b) Politik Luar Negeri
Politik luar negeri
Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu melakukan perluasan
daerah kekuasaan ke negara–negara yang belum tunduk pada kerajaan
Bani Umayyah.
Pada zaman Khalifah ar-Rasyidin wilayah Islam sudah demikian
luas, tetapi
perluasan
tersebut belum mencapai tapal batas yang tetap, sebab di sana-sini
masih selalu terjadi
pertikaian dan kontak-kontak pertempuran di daerah perbatasan.
Daerah-daerah yang
telah dikuasai oleh Islam masih tetap menjadi sasaran penyerbuan
pihak-pihakdi luar
Islam, dari belakang garis perebutan tersebut. Bahkan musuh diluar
wilayah Islam telah
berhasil merampas beberapa wilayah kekuatan Islam ketika terjadi
perpecahan-
perpecahan dan permberontakan-pemberontakan dalam negeri kaum
muslimin (Syalaby,
1971:139).
Berdasarkan kedaan
semacam ini, terjadilah pertempuran-pertempuran antara Bani
Umayah dan negara-negara tetangga yang telah ditaklukkan pada masa
khilafaur rasyidin.
Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai Khurasan sampai ke
sungai Oxus dan
Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan
serangan-serangan ke ibu kota
Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan
Muawiyah dilanjutkan oleh
Khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai
Oxus dan berhasil
menundukkan Balk, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand.
Tentaranya sampai
ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab
sampai ke Maltan
(Nasution, 1985:61).
Ekspansi ke Barat
secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid bin Abdul Malik.
Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari
Afrika Utara menuju
wilayah Barat daya, benua Eropa, pada tahun 711 M. Setelah
al-Jazair dan Marokka dapat
ditaklukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi
selat yang
memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di
suatu tempat yang
sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara
Spanyol dapat ditaklukkan.
Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu
kota Spanyol,
Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti
Seville, Elvira dan Toledo
yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova
(Hasan, 1967:91).
Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah
karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat
kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin
Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan
Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah
al-Ghafiqi. Ia mulai
menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun
dalam peperangan
di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur
kembali ke Spanyol.
Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut
Tengah juga jatuh ke
tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan
ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat,
wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas.
Daerah-daerah tersrebut
meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia,
Irak, sebagian Asia Kecil,
Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,
Purkmenia, Uzbek dan Kirgis
di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
Dengan demikian,
ekspansi yang dilakukan oleh orang Islam di masa Bani Umayyah
adalah semata-mata suatu tindakan untuk membela diri (defensif)
dan jihad untuk
menyiarkan agama Islam, terutama terhadap penganut-penganut
kepercayaan syirik, yang
menghalang-halangi sampainya ajaran Islam ke dalam hati sanubari
rakyat yang telah
lama menanti-nantikannya.
Perluasan yang
dilakukan pada masa Bani Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu
daerah-daerah yang telah dicapai dan gerakan Islam terhenti sampai
di situ, ketika masa
Khalifah Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai berikut :
1)
Front pertempuran melawan bangsa
Romawi di Asia Kecil. Dimasa pemerintahan Bani
Umayyah, pertempuran di front ini
telah meluas, sampai meliputi pengepungan
terhadap kota Konstantinopel, dan
penyerangan terhadap beberapa pulau di
laut tengah.
2)
Front Afrika Utara. Front ini
meluas sampai ke pantai Atlantik, kemudian
menyeberangi selat
Jabal Thariq dan sampai ke Spanyol.
3)
Front Timur. Ini meluas dan
terbagi kepada dua cabang, yang satu menuju ke utara, ke daerah-daerah
diseberang sungai Jihun (Amru Dariyah). Dan cabang yang keduamenuju ke Selatan,
meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian Barat (Mufrodi,1997:80).
3. Sistem Ekonomi
Pada masa Bani
Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa. Dengan
wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu memungkinkannya
untuk
mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka
juga dapat mengangkut
sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini
membuat bangsa Arab
hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak
dan sekaligus
memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti
Mesir, Suriah dan Irak
(Bosworth,1993:26).
Tetapi bukan hanya
eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Bani
umayyah, tetapi ada juga usaha untuk memakmurkan negeri
taklukannya. Hal ini terlihat
dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj
bin Yusuf. Dia berhasil
memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris,
memajukan perdagangan, dan
memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan (Mufradi,
1997:76).
Jadi sumber ekonomi
masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi ekonomi
negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari
negara-negara yang telah
ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam.
Tetapi kebijakan
yang paling strategis pada masa Daulah Bani Ummayah adalah
adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa
Khalifah Abdul Malik. Dia
mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang dipakai di
daerah-daerah yang
dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun
659 M dengan
memakai kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat
dari emas dan perak
sebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada
sebelumnya (Yatim,
2003:44).
F. Kemajuan Intelektual
Kehidupan ilmu dan
akal, pada masa Dinasti Bani Umayyah pada umumnya berjalan
seperti zaman khalafaur rasyidin, hanya beberapa saja yang mengalami kemajuan, yaitu
mulai dirintis jalan ilmu naqli, berupa filsafat dan eksakta. Pada saat itu, sebagaimana
masa sebelumnya, ilmu berkembang dalam tiga bidang, yaitu diniyah,
tarikh dan filsafat.
Tokoh filsafat yang terkenal (beragama nasrani) adalah Yuhana al
Dimaski, yang dikenal
dalam Dunia KRISTEN sebagai Johannes Damacenes, yang kemudian diteruskan oleh
muridnya yang bernama Abu Qarra.
Kebanyakan
masyarakat dan Khalifah Bani Umayyah mencintai syair. Pada masa itu
lahir beberapa penyair terbesar, seperti Ghayyats Taghlibi
al-Akhtal, Jurair, dan Al-
Farazdak.
Kota-kota yang
menjadi pusat kegiatan ilmu, pada masa Daulah Bani Umayyah,
masih seperti zaman khafaur rasyidin, Yaitu kota Damaskus, Kufah,
Basrah, Mekkah,
Madinah, Mesir dan ditambah lagi dengan pusat-pusat baru, seperti
kota Kairawan,
Kordoba, Granada dan lain-lainnya (Hasjmy, 1993:183).
Ilmu pengetahuan
pada masa Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua yaitu:
1. Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang
terpecah menjadi dua bagian:
· Al-Ulumul Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an,
al-Hadist, al-Fiqh, al-ulumul
Lisaniyah,
at-Tarikh dan al-Jughrafi.
· Al-Ulumud Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang
diperlukan oleh kemajuan Islam,
seperti ilmu thib,
fisafat, ilmu pasti dan ilmu-ilmu eksakta lainnya yang disalin dari
bahasa Persia dan
Romawi.
2. Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu
ilmu-ilmu yang telah ada di zaman
Jahiliah dan di zaman khalafaur rasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair, khitabah
dan amsaal.
Pada permulaan masa
Daulah Bani Umayyah orang Muslim membutuhkan hukum
dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Oleh karena itu
mereka mempunyai
minat yang besar terhadap tafsir al-Qur’an. Ahli tafsir pertama
dan termashur pada masa
tersebut adalah Ibnu Abbas. Beliau menafsirkan al-Qur’an dengan
riwayat dan isnaad.
Kesulitan-kesulitan
kaum muslimin dalam mengartikan ayat-ayat al-Qurr’an dicari
dalam al-Hadist. Karena terdapat banyak hadist yang bukan hadist,
maka timbullah usaha
untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist, yang akhirnya menjadi
ilmu hadist dengan
segala cabang-cabangnya. Maka kitab tentang ilmu hadist mulai
banyak dikarang oleh
orang-orarng Muslim. Diantara para muhaddistin yang termashur pada
zaman itu, yaitu:
Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin
Syihab az-Zuhry, Ibnu
Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky,
Al-Auza’I Abdur Rahman
bin Amr, Hasan Basri Asy-Sya’bi (Hasjmy, 1993:183).
G. Sebab-Sebab Runtuhnya Bani Umayyah
Kebesaran yang
telah diraih oleh Dinasti Bani Umayyah ternyata tidak mampu
menahan kehancurannya, yang diakibatkan oleh beberapa faktor
antara lain:
1. Pertentangan antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi
menjadi dua kelompok,
yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan
Arab Selatan
(Himyariyah) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Dinasti Bani
Umayyah
persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para
Khalifah cenderung
kepada satu pihak dan menafikan yang lainnya (Ali, 1981:169-170).
2. Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka adalah
pendatang baru dari
kalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali. Status
tersebut menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan
orang-orang Arab
yang mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka
bersama-sama
Muslim Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa
orang di antara
mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata bangsa Arab.
Tetapi harapan
mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak
dikabulkan.
Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali itu jumlahnya jauh lebih
kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab (Watt,
1990:28).
3. Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah
sesuatru yang baru bagi
tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
Pengaturannnya tidak jelas.
Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini menyebabkan
terjadinya persaingan
yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga Istana (Hitti,
1970:281).
4. Kerajaan Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayyah telah demikian
luas
wilayahnya, sehingga sukar mengendalikan dan mengurus administrasi
dengan baik,
tambah lagi dengan sedikitnya jumlah penguasa yang berwibawa untuk
dapat
menguasai sepenuhnya wilayah yang luas itu.
5. Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat
dilepaskan dari
konflik-konflik politik. Kaum Syi’ah dan Khawarij terus berkembang
menjadi gerakan
oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan
kekuasaan
Umayyah.
6. Adanya pola hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan
anak-anak Khalifah
tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka
mewarisi kekuasaan.
Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian
penguasa
terhadap perkembangan agama sangat kurang.
7. Penindasan terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali pada
khususnya, dan
terhadap Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya, sehingga mereka
menjadi oposisi
yang kuat. Kekuatan baru ini, dipelopori oleh keturunan al-Abbas
ibn Abdul al-
Muthalib dan mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan
Syi’ah dan
kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani
Umayyah. Hal ini
menjadi penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani
Umayyah. (Yatim,
2003:48-49 dan Hasymy, 1993:210).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar